Pengalaman PAUD di Jepang

Paud JepangTulisan ini terinspirasi dari ucapan selamat dalam milis dosen Unsyiah kepada salah seorang Dosen FKIP yang berhasil mendapatkan gelar Doktor untuk bidang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Tertarik untuk berbagi pengalaman tentang suka duka mencari PAUD yang cocok, akhirnya tangan mulai bekerja untuk menuliskan beberapa hal yang ada dalam ingatan semasa saya tinggal di Jepang.***

Anak pertama saya daftarkan mengikuti PAUD pada usia 2,5 tahun. Pada waktu itu, saya belum repot untuk hunting PAUD mana yang cocok untuk anak saya karena yang ada di dalam pikiran hanyalah PAUD yang dekat dengan rumah. Karena saya melanjutkan studi, maka pada umur kurang dari 4 tahun si anak saya masukkan daycare di negara (Jepang) tempat saya tinggal sementara.

Di negara ini, terdapat dua macam sekolah untuk anak balita. Yang pertama adalah hoikuen (daycare). Hoikuen ditujukan untuk murid berusia 0 hingga 6 tahun yang orang tuanya (ibu) bekerja atau orang tua yang sedang menjalani perawatan medis sehingga membutuhkan bantuan untuk menjaga anaknya.

Umumnya hoikuen menyediakan snack dan makan siang, dimana menu yang dimasak sudah diketahui oleh setiap orang tua pada setiap awal bulan dengan membagikan lewat selembar kertas. Selain itu contoh masakan pada hari tersebut juga diperlihatkan melalui sebuah kotak kaca tertutup yang dipajang mulai dari siang hingga sore, sehingga orang tua yang menjemput juga mengetahui bentuk visual yang dikonsumsi oleh anaknya.

Yang kedua adalah yochien (taman kanak-kanak). Umumnya anak-anak yang bersekolah di yochien hanya sampai pukul 14.00 siang dan memiliki libur musim panas dan musim dingin yang panjang sama seperti SD, SMP atau SMA.

Menurut pengamatan saya, kegiatan yang dilakukan di hoikuen cukup menyenangkan bagi anak-anak. Seluruh kegiatan pasti akan melibatkan alam sekitar dan anak-anak akan diajarkan hidup mandiri dan mencintai lingkungan mereka. Pagi hari ketika mengantarkan anak, orang tua hanya melihat bagaimana si anak dapat memasukkan sendiri barangnya ke dalam loker yang sudah disediakan untuk setiap anak. Sepatu juga wajib diletakkan pada tempat yang tersedia oleh si anak.

Orang tua juga wajib mengisi buku harian/penghubung (renrakucho) yang tersedia di dalam kelas tentang kondisi anak (pilek, batuk, dll), suhu tubuh dan kejadian di rumah. Ketika menjemput, orang tua kembali wajib mengecek buku harian yang didalamnya telah tertulis tentang kemajuan anak dan kondisi anak selama berada seharian di sekolah.

Di hoikuen, tidak ada pelajaran baca, tulis dan berhitung. Setiap locker milik setiap anak ditempel dengan karakter berbagai macam hewan beserta nama mereka masing-masing menggunakan huruf hiragana atau katakana. Tidak heran, dalam jangka waktu 1 bulan, anak saya sudah dapat mengenal dan membaca huruf hiragana hanya dengan melihat pada tulisan hiragana atau katakana yang tertempel pada locker miliknya atau milik teman-temannya. Misal, nama anak saya Rahil, sehingga dia dengan mudah dapat mengetahui bahwa ラ dibaca “ra” �’ dibaca “hi” dan ル dibaca “ru (Rahiru, bahasa Jepang tidak mengenal konsonan).

Bayangkan, saya mati-matian belajar dan menghafal huruf hiragana dan katakana dalam waktu 6 bulan, sedangkan anak saya cukup 1 bulan saja sudah dapat membaca dan menuliskan huruf tersebut tanpa diajari secara resmi (duduk terpaku) di kelas.

Dalam mengajarkan bilangan, guru menggunakan konsep waktu. Misalnya, guru memberi tahu, “Anak-anak, kegiatan makan akan dihentikan jika jarum panjang sampai pada angka 6.” Kemudian bila suatu kegiatan besar akan dimulai, misalnya tanggal 8 Juli, guru akan memberi tahu, “Kita akan mulai bermain air pada tanggal 8. Ayo kita hitung bersama-sama pakai jari tangan: 1, 2, 3, …” Atau bila kegiatan itu akan dimulai 4 hari lagi, guru akan memberi tahu, “Setelah kalian tidur malam di rumah 4 kali, kita akan mulai bermain air.”

Anak-anak diajarkan mandiri, mulai dari cara pipis, memakai baju, mengancing baju, sikat gigi, cuci tangan setiap selesai bermain, menyiapkan meja makan pada siang hari (biasanya dibuat piket), mencuci peralatan makan sendiri serta membawa tas/payung/topi mereka sendiri ketika berangkat sekolah. Baju yang dipakai oleh anak juga harus baju yang sportif dan memudahkan mereka bergerak. Jika musim dingin, anak-anak memiliki jaket yang wajib digantung sendiri pada tempat yang disediakan ketika masuk ke dalam kelas. Perlengkapan untuk tidur (futon/matras dan selimut) juga disiapkan sendiri oleh si anak.

Yang paling menarik bagi saya adalah guru-guru yang ada di sekolah selalu siap siaga dan waspada pada setiap sudut sekolah jika anak sedang bermain di halaman sekolah. Tidak ada guru yang memakai baju cantik dan rok sempit. Semua guru memakai baju sportif (seperti baju untuk berolahraga) untuk memudahkan mereka bergerak dan memantau anak-anak. Biasanya guru akan terlihat modis dan cantik seusai jam sekolah. Selain itu, guru-guru sangat ramah dan terbuka. Dalam menghadapi anak-anak, guru juga selalu ceria, lincah dan tersenyum, pintar bernyanyi dan pintar menirukan berbagai macam suara tanpa ragu dan malu.

Kegiatan lain yang sangat disukai anak-anak adalah jalan-jalan atau tamasya tanpa orang tua. Jalan-jalan dilakukan dengan berjalan kaki jika dekat dengan sekolah (dekat bagi mereka adalah kurang dari 3 km) atau naik bis dan kereta api jika tempat yang dituju jauh. Saya pernah diajak mengikuti dan memantau kegiatan anak-anak selama 2 hari. Hari pertama ketika mereka tamasya di luar sekolah dan hari kedua ketika anak-anak melakukan aktivitasnya disekolah. Orang tua yang diundang bergantian sehingga mereka mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh anaknya di sekolah.

Nah, bagaimana dengan PAUD di Banda Aceh?

Penulis merupakan staf pengajar jurusan Teknik Kimia Unsyiah dan pernah studi S3 di Jepang.

 

Sumber:  theglobejournal.com