Home KDRT - Human Trafficking Perlu Pendidikan Gender bagi Pejabat

Perlu Pendidikan Gender bagi Pejabat

 

Dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat ada 400.939 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh Indonesia.

Pada tahun 2006 Komnas Perempuan mencatat sebanyak 557 dari 16.709 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dilakukan oleh pejabat publik dan aparat negara. Pejabat dan aparat negara yang melakukan kekerasan itu terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS) 391 kasus, guru 53 kasus, anggota DPR/DPRD tujuh kasus, dan TNI/ Polri 106 kasus.

Selain itu, terdapat juga 22 kasus kekerasan yang dilakukan oleh kapasitas aparat negara dan penegak hukum, yakni kekerasan dalam proses peradilan, dari penangkapan, penahanan, hingga persidangan. Di Jawa Tengah, pada tahun 2012 LRC-KJHAM Semarang mencatat ada 938 perempuan korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, 75 persennya adalah KDRT. Tragisnya lagi, pelaku terbanyak kedua adalah pejabat publik.

Bentuk kekerasan yang dilakukan sangat beragam, di antaranya nikah siri, pengingkaran dan penelantaran terhadap anak biologis, poligami, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Bahkan beberapa waktu lalu masyarakat sangat dikejutkan oleh tindakan memalukan yang dilakukan oleh seorang pejabat Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Zakaria Umar Hadi yang melakukan pemukulan terhadap pramugari Sriwijaya Air, Nur Febriani. Realitas tersebut sungguh sangat ironis.

Orang yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, namun menjadi bagian pelanggaran terhadap hak asasi perempuan itu sendiri. Merujuk pada pasal 28 huruf (i) ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Bentuk tanggung jawab pemerintah tersebut tidak hanya menyediakan regulasi serta sarana dan prasarana, namun lebih dari itu.

Dalam konteks HAM, pemerintah harus memastikan bahwa penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fulfill) dan memajukan (to promote) hak asasi manuasia, termasuk dalam hal ini hak asasi perempuan, benar-benar terealisasi secara penuh. Preseden Buruk Apabila ada pejabat negara yang ternyata menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana data dan fakta di atas, hal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan HAM di Indoensia.

Masyarakat akan menilai bahwa antara kebijakan dengan realitas di lapangan tidak paralel. Hal ini akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat luas. Setiap hari masyarakat disuguhi tontonan perilaku pejabat negara yang merendahkan derajat dan martabat perempuan. Perempuan diperlakukan tidak adil, hanya dijadikan objek seksual yang tidak manusiawi.

Negara telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Untuk itu, korban harus mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Regulasi yang telah tersedia di antaranya telah disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPO) dan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Setidaknya empat undang- undang ini diharapkan mampu menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Tingginya angka pejabat negara yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan ini merupakan cerminan rendahnya pemahaman mereka terhadap HAM dan gender. Alternatif Solusi Ke depan, negara harus memiliki mekanisme yang tepat untuk mengerem tingginya angka pejabat negara pelaku kekerasan terhadap perempuan. Yang bisa dilakukan antara lain, pertama, memasukkan kriteria bebas tindak kejahatan terhadap perempuan dalam persyaratan rekrutmen pejabat publik dan harus pula dikuatkan dengan sebuah regulasi.

Kedua, diwajibkan setiap calon dan pejabat negara untuk mendapatkan pendidikan tentang HAM, hak asasi perempuan dan gender. Ketiga, diwajibkannya setiap pejabat negara untuk melaporakan jumlah istri di samping harta kekayaannya dan harus dipublikasi secara luas. Kempat, tidak ada imunitas terhadap pelaku.

Law enforcement atau penegakan hukum yang tegas bagi setiap pejabat negara yang amoral dan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan saknsi hukumnya haruslah diperberat, karena perbuatan tersebut tidak hanya perbuatan tercela, akan tetapi merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Kelima, sanksi sosial dari masyarakat, agar tidak memilih pejabat negara yang berperilaku tercela.

 

Sumber:  suaramerdeka.com

 
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner

" Banyak sekali cara beribadah. Dan di sini salah satunya"
Bu Dewi Kader dari RT 3

Banner
free counters
Free counters

My site is worth$15,643.58Your website value?