Perempuan di Peradilan Adat Aceh
Kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual di kalangan anak jumlahnya cenderung meningkat di Aceh. Meskipun peradilan adat bisa ikut menyelesaikan perkara itu namun hal tersebut tidak menjamin kasus tersebut menurun.
Menurut pegiat Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan atau LBH APIK Aceh Azriana, kasus kekerasan selama diterapkannya peradilan syariat terus meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. “Makanya kekerasan seksual terhadap anak perempuan tinggi sekali di Aceh ini. 46% dari kasus kekerasan yang terjadi di Aceh dalam waktu dua tahun itu terhadap anak perempuan. Bahkan umur dua tahun ada yang jadi korbannya. Itu data LBH APIK. Kenapa anak perempuan rentan jadi korban kekerasan seksual dan perkosaan. Pelakunya itu kebanyakan orang-orang terdekat bukan orang asing. Karena masyarakat tidak punya mekanisme kontrol perlindungan lagi terhadap anak perempuan,” jelasnya.
Atas alasan itu pendidikan kepada perempuan di Aceh menjadi penting. Tujuannya kata Azriana agar perempuan Aceh yang selama puluhan tahun terbelakang, menjadi sadar dan bisa memperjuangkan hak-hak mereka lewat Majelis Adat Aceh atau MAA. “Di Aceh itu sekarang ada regulasi yang memberikan kewenangan ke lembaga adat untuk menyelesaikan sengketa, jadi menjalankan peradilan adat. Ada 18 kasus yang itu diberikan kewenangan ke lembaga adat untuk menyelesaikan, di antara 18 kasus itu juga kasus-kasus itu melibatkan perempuan. Jadi lembaga adat sendiri, atau MAA itu menganggap ada kebutuhan untuk menguatkan kapasitas tokoh adat perempuan juga. Supaya nanti ketika mereka menjalankan pelaksaan penyelesaian sengketa di kampung mereka sudah punya keterampilan yang lebih,” ucapnya.
Wisa, salah satu perempuan yang mengikuti pelatihan peradilan adat merasakan manfaatnya. “Karena saya merasa perlu, apalagi di desa lebih-lebih di Aceh, terlalu banyak konflik, masalah terlalu banyak. Lebih-lebih yang mengenai perempuan, dengan saya tampil di MAA ini saya ingin konflik yang ada termasuk konflik perempuan itu selesai. Seperti apa konflik perempuan yang Anda maksud? Seperti KDRT, harta warisan,mungkin yang lebih banyak itu KDRT,” jelasnya.
Tapi faktor agama kata pegiat LSM APIK Azriana masih mengganjal perempuan ikut terlibat dalam peradilan adat. “Biasa tafsir agama, itu selalu dipakai sampai sekarang, selagi masih ada lelaki tidak perlu ada perempuan, jadi selagi masih ada laki-laki bisa memimpin tidak perlu perempuan, lembaga adat itu bukan ruangnya perempuan, itu masih ada. Kita melihat ini bagaimana menyampaikan informasi yang lebih massif ke kalangan tokoh adat yang ada di kampung, karena biasa itu tantangannya dari kampun. Mungkin kalau di lembaga MAA kita tidak memperoleh lagi tantangan itu, tetapi tantangan itu munculnya di masyarakat. Tokoh-tokoh adat yang diakui ketokohannya oleh masyarakat dan itu belum tersentuh oleh MAA,” katanya.
Oleh sebabnya MAA) terus mendorong agar perempuan ikut dilibatkan dalam peradilan adat kata salah satu Ketua Bidang Urusan Perempuan MAA Zulhafah Luthfi menuturkan,” Dari situlah kita menjelaskan kepada masyarakat bahwa perempuan itu juga harus diberi peran, KDRT tidak perlu dikhawatirkan karena peradilan adat kami tetap lebih cenderung membuat rasa malu, malu dia kenapa sih membuat KDRT terhadap lawan jenisnya. Jadi tidak akan terjadi kasus-kasus KDRT yang sangat luar biasa”
Keberadaan peradilan adat secara tidak langsung ikut meringankan beban kepolisian yang kerap kesulitan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Meski demikian Kepolisian Daerah Aceh bersama Pemprov tengah merumuskan spesifikasi kasus KDRT yang bisa ditangani polisi.
Direktur Pembinaan dan Bimbingan Masyarakat Polda Aceh Agus Nugroho menjelaskan, “Itu yang masih dalam pembahasan, KDRT ringan artinya kalau dalam KDRT ada penganiayaan dalam perselisihan karena yang diatur adalah peselisihan dalam rumah tangga. Tetapi perselisihan dalam rumah tangga ada penganiayaan ringan itulah yang sedang kita jabarkan. Apakah bisa kita selesaikan melalui qonun itu yang masih kita rumuskan dalam bentuk peraturan”
Peradilan adat ikut membantu menyelesaikan persoalan domestik rumah tangga seperti KDRT. Cut, salah satu korban merasakan manfaatnya. “Kalau menurut saya sih efektif karena setelah perdamaian itu tidak ada permusuhan karena saya pernah melihat orang lain yang diselesaikan, waktu itu saya mendampingi korban, tetangga, saya temani dia ke meunasah (Balai Warga) di tempat persidangan itu malah ramai, ada suaminya ada tetangganya ada Tuhapeut Gampong, Keuchik, Kepala Dusun. Setelah itu mereka baik sampai sekarang,” pungkasnya.
Editor: Taufik Wijaya
Sumber: portalkbr.com