Gender dan Kekuasaan Picu Kekerasan

 

Jumlah perempuan yang mengalami Kekerasan Berbasis Gender (KBG) masih tinggi, bahkan jumlah kasus yang didata masih merupakan fenomena gunung es. Ada banyak kasus KBG yang tidak dilaporkan atau diliput oleh media. Begitulah kata Dina Lumbantobing, Kepala Kajian dan Pengembangan Kapasitas Perkumpulan Sada Ahmo & Aliansi Sumut Bersatu (Pesada) ini.

Bukan tanpa alasan kalau KGB masih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan Data kasus Women Crisis Center/WCC Sinceritas–PESADA mulai Januari- Oktober 2010 menunjukkan bahwa dari total 85 kasus yang ditangani, 59 atau 69 persen di antaranya adalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).

“UU PKDRT sudah ada sejak tahun 2004 namun perempuan korban kekerasan enggan melaporkan kasusnya. Aparat penegak hukum masih banyak yang belum peka gender dalam penanganan kasus. Dari 55 kasus KDRT di 2009, meningkat menjadi 65 kasus di tahun 2010 di Sumut,” ujar wanita yang hobi baca ini.
Bicara soal KDRT, Dina bilang, dari analisis yang ia pakai, yakni analisis gender dan kekuasan, ada kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan karena masih memakai pola pikir patriarki yang dibawa perempuan maupun laki-laki yang jadi pemicu kekerasan terhadap perempuan. “Bahkan faktanya, di negara maju seperti Amerika, tinggi sekali kekerasan dalam rumah tangga dan kematian istri,” ujar ibu dari dua anak ini.

Memang, kata Dina, patriarki  atau cara pandang yang melihat kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, dimana cara pandang yang diukur dari mata dan pikiran laki-laki membuat posisi perempuan dalam hal ini sebagai istri kurang mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan.

“Perempuan juga masih berkembang dengan pola pikir patriarki yang merasa dirinyalah yang harus memelihara nilai-nilai keluarga. Untuk itu Pesada melakukan pendekatan dengan penyadaran hak-hak terhadap perempuan. Kami dikenal sebagai lembaga yang sangat konsen penyadaran gender dengan analisis gender dan kekuasaan,” kata dia.
Yang sangat disesalkan Dina, bila laki-laki melakukan kesalahan, seperti melakukan KDRT, malah dianggap hal biasa dan bukan menjadi persoalan berat. “Inikan sangat aneh. Nah, kami mencoba memberikan pendidikan-pendikan publik, membangun kesadaran untuk feminis muda dan semua perempuan Indonesia soal gender, ” paparnya.

Menurutnya, bias gender juga sering dilakukan aparat penegak hukum saat menangani perempuan yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Saat perempuan korban kekerasan rumah tangga melaporkan ke polisi, justru aparat polisi yang menerima pengaduan korban malah menyalahkan korban dengan cara pemeriksaaan yang masih patriarki. “Kenapa kok bisa dipukul, telat masak ya? Lupa mandi ya? Lupa pakai make up ya? Dan pertanyaan lain yang justru menyudutkan perempuan yang sudah jadi korban KDRT,” kata Dina.

Begitu juga terhadap perempuan korban perkosaan juga masih menggunakan sistem patriarki. “Pakai baju apa saat kejadian? Apa baju kamu tersingkap waktu tidur? Pertanyaan apa seperti ini! Ini tidak menghargaain perasaan perempun sebagai korban dalam pelaporan,” ketus dia lagi.

Pada akhirnya, lanjut Dina, perempuan yang korban kekerasan rumah tangga dibujuk untuk berdamai. Padahal, apa yang dilakukan laki-laki dalam hal ini suami, sudah melanggar pidana. “Apa arti perdamaian? Bagi kami perdamaian bukan menghilangkan status kejahatan dan proses hukum harus tetap jalan. Ini keadilan yang sangat timpang,” tegasnya.

Dina tak menampik, banyak juga perempuan menjadi pelaku kekerasan ketika berada di pihak laki-laki. Misalnya, kekerasan itu dilakukan kakak ipar (perempuan), ibu mertua. “Karena banyak perempuan ketika dia berkuasa, dia menjadi poin dua wajah dan merasa berhak melakukan kekerasan terhadap orang lain. Ia memposisikan dirinya lebih tinggi. Ini ditambah dengan dengan fakta-fakta kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan karena minoritas agama dan lainnya,” paparnya.

Untuk itulah, Dina menegaskan kalau yang menjadi akar perhatian Pesada adalah gender dan kekuasaan. Sebab, gender masih terjadi dimana-mana.

Dina mengimbau agar perempuan sadar dengan hak-haknya. “Sadarlah perempuan, kamu setara dengan laki-laki. Ketika kamu punya posisi, punya kekuasaan, jangan tiru cara laki-laki yang menggunakan kekuasaan itu,” imbau  Dina.

Dina berpesan, jika kaum perempuan merasa tidak adil dengan menjadi korban kekerasan, baik kekerasan psisikis, seksual dan KDRT dan lainnya, jangan segan-segan melapor ke penegak hukum. “Dan Pesada siap menjadi advokasinya,” pungkasnya.

 

Sumber: hariansumutpos.com