Home KDRT - Human Trafficking Penanganan Kasus KDRT Oleh Kepolisian

Penanganan Kasus KDRT Oleh Kepolisian

 

Kasus KDRT sampai saat ini terus meningkat. Berdasarkan data Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri, dari tahun 2007 sampai 2011 terdapat 928 kasus yang ditangani oleh UPPA yang tersebar di seluruh Kepolisian Daerah (Polda). Data di atas bisa dikatakan belum sepenuhnya akurat mengingat kasus-kasus KDRT ibarat fenomena gunung es, artinya kasus yang terjadi belum bisa mewakili kasus yang sebenarnya karena masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan oleh korban, karena sifat perempuan Indonesia masih tertutup, budaya malu juga masih sangat kuat, dan anggapan tabu jika melaporkan suami ke pihak yang berwajib.

Keengganan melapor ke pihak yang berwajib bukan hanya disebabkan perasaan malu, namun juga kurangnya kepercayaan kepada lembaga penegak hukum.  Karena faktanya, dari sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan, yang dilaporkan kepada polisi, tidak seluruhnya bisa diteruskan sampai ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau disidangkan di Pengadilan. Dari 928 kasus yang ditangani oleh UPPA di seluruh Indonesia hanya 109 kasus yang diteruskan sampai ke Jaksa Penuntut Umum.

Yang memprihatinkan, sebagian besar kasus tersebut justru dihentikan penyidikannya  dengan alasan tidak cukup bukti atau harus dihentikan demi hukum atau pelapor mencabut kembali pengakuannya. Dari 928 kasus KDRT yang ditangani oleh UPPA di seluruh Indonesia hanya 459 kasus yang bisa diproses. Jika permasalahannya adalah tidak cukup bukti biasanya terjadi karena korban umumnya melapor setelah bekas-bekas tindak kekerasan tidak ada lagi pada tubuh korban atau tidak ada saksi yang melihat tindak kekerasan terkait.

Salah satu substansi yang paling penting dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 adalah perlindungan dan pendampingan yang merupakan hak-hak korban yang harus diberikan, disamping hak-hak lainnya seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 13 UU Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi:

“Korban berhak mendapatkan:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. pelayanan bimbingan rohani;

Adanya perlindungan terhadap korban merupakan prinsip yang sangat mendasar dan yang harus segera diambil untuk menyelamatkan korban dari tindakan kekerasan yang berkelanjutan dalam rumah tangga, baik itu kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran (vide Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004). Kemudian dapat diikuti langkah selanjutnya berupa pendampingan korban (dalam Pasal 23 UU Nomor 23 Tahun 2004 disebut “relawan pendamping”), yang bertujuan antara lain:

  1. agar korban dalam setiap tingkat pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, persidangan) dapat memaparkan KDRT yang sedang dialaminya;
  2. untuk memulihkan rasa trauma yang terjadi dalam diri korban;
  3. memberikan rasa percaya diri kepada korban;
  4. menanamkan keberanian bagi korban untuk memberikan keterangan yang lengkap kepada petugas dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Perlindungan telah ditentukan dalam Pasal 1 butir 4 UU Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi: “Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.” Perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian kepada korban cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait lainnya, antara lain harus:

  1. Mengamankan korban dari ancaman atau tindakan kekerasan lebih lanjut dari tersangka/pelaku KDRT;
  2. Mengawal/mengantarkan korban pulang ke rumahnya jika korban mau kembali ke rumahnya setelah selesai diperiksa;
  3. Merujuk/mengirimkan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT ) atau Rumah Sakit terdekat
  4. Mengantarkan korban ke rumah sakit untuk berobat dan meminta Visum et Repertum;
  5. Segera memproses tersangka, karena tindakan itu merupakan shock terapi untuk tersangka KDRT;
  6. Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh;
  7. Menjamin keamanan dan keselamatan pelapor maupun korban.
  8. Segera menghubungi berbagai pihak untuk mendampingi korban.

Namun terdapat berbagai kesulitan yang sering dijumpai oleh kepolisian dalam rangka memberikan perlindungan atau penanganan kasus-kasus KDRT antara lain:

  1. adanya keengganan dari korban (utamanya korban wanita) untuk meneruskan proses tindak pidana yang terjadi, karena ada rasa kasihan terhadap tersangka utamanya apabila tersangka adalah suaminya;
  2. kekhawatiran sang istri atau korban untuk melapor atau mengadu, karena sifat ketergantungan yang tinggi terhadap suami sebagai tersangka KDRT;
  3. pengaruh budaya dan agama yang masih kuat yang mengharuskan ketaatan kepada suami dalam keadan bagaimanapun;
  4. adanya rasa malu terhadap keluarga/orang lain, karena masalah KDRT merupakan masalah yang bersifat private (domain private);
  5. penempatan korban dalam suatu tempat khusus pada kepolisian belum tersedia, yang ada hanya Ruang Pelayanan Khusus (RPK), yang sifatnya sementara dan juga belum semua Polres memiliki RPK, karena keterbatasan keuangan negara (kalau untuk memberikan pelayanan dilakukan di rumah aman milik Pemerintah, Pemda, atau masyarakat).

Dengan telah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2004, maka diharapkan kinerja kepolisian akan lebih efektif karena terdapat perangkat hukum yang pasti mengenai KDRT  dan telah dibentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak-anak (Unit PPA) yang pada Tingkat Mabes Polri berkedudukan di bawah Direktorat I/Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri, pada tingkat Polda berkedudukan di bawah Satuan Operasional  Dit Reskrim/Dit Reskrim Um Polda, dan pada tingkat Polres berkedudukan di bawah Sat Reskrim Polres bertugas untuk memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan/kekerasan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.

Diharapkan UPPA ini dapat memberikan rasa aman kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, mengungkap kasus kekerasan, membangun dan memelihara sinergi dengan fungsi/lembaga terkait dalam pelayanan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban sehingga penanganan kasus KDRT bisa tuntas.

 

Sumber: abdillahrifai.com

 
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner
Banner

" Rasa capek itu akan sirna seketika bila melihat wajah-wajah polos yang ceria"
Bu Ridwa Kader dari RT 4

Banner
free counters
Free counters

My site is worth$15,643.58Your website value?