Rutin ke Posyandu Cegah Anak Stunting



Data Riskesdas 2010, prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia 17,9 persen. Dari angka itu, prevalensi anak stunting (pendek) mencapai 35,6 persen. Sementara di Thailand hanya 16 persen. Itu artinya, tiga dari 10 anak Indonesia bertubuh pendek. Padahal, stunting erat kaitannya dengan banyak risiko kesehatan.

Untuk mencegah bertambahnya kasus stunting, Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK, Ph.D, dari Perhimpunan Dokter Gizi Medis Indonesia (PDGMI), menekankan pentingnya kecukupan gizi dalam seribu hari pertama kehidupan. “Seribu hari pertama kehidupan anak, yakni sejak di dalam kandungan hingga usia dua tahun, merupakan kunci untuk menentukan status gizi, kesehatan, dan peluang masa depan anak,” papar Prof. Fasli, dalam seminar gizi nasional, di Jakarta.

Bila anak gagal mendapatkan gizi baik, sel-sel tubuhnya akan berubah menjadi rakus gizi sehingga cenderung gemuk saat dewasa. Sebetulnya tak harus menunggu hingga dewasa karena sekarang ini juga lebih banyak dijumpai hipertensi pada anak gemuk pendek.  

Kurang gizi juga memicu otak anak tidak berkembang dengan baik. “Biasanya anak jadi apatis dan kurang stimulasi. Berita bagusnya, dari penelitian, anak kurang gizi yang IQ-nya 92, bila mendapat makanan tambahan yang baik, IQ-nya bisa naik menjadi 100, bila ditambah stimulasi menjadi 104. Mereka bisa mengejar kekurangan, meski sedikit,” ujarnya.

Kementerian Kesehatan, seperti disebutkan DR. Minarto, MPS, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi Indonesia, sudah melakukan upaya mempercepat perbaikan gizi pada ibu hamil dan bayinya dalam seribu hari kehidupan. Langkah konkret berupa meminimalisasi gizi kurang.

“Tidak hanya diminimalisasi, gizi kurang sebenarnya harus dicegah. Cara yang bisa ditempuh adalah rutin membawa balita ke posyandu. Berat badannya ditimbang, diberi vitamin A, dan ibu terus diedukasi agar mau memberikan ASI,” kata DR. Minarto.

Bila dalam dua kali penimbangan berat badan bayi tidak juga naik, atau mengacu pada Kartu Menuju Sehat (KMS) selalu berada di bawah garis merah, harus diwaspadai bahwa itu bisa jadi merupakan tanda awal anak kurang gizi. Jika dijumpai anak demikian, segera dilakukan pemberian makanan tambahan pemulihan (PMTP).

“Bisa juga anak segera dirawat di rumah sakit. Bila berat badan anak yang tidak naik segera di-follow up, sebenarnya masalah gizi kurang selesai,” ungkapnya.

Yang masih menjadi masalah adalah keikutsertaan peserta ke posyandu masih rendah. Kurang gizi juga berhubungan dengan masalah ekonomi. Itulah mengapa kasusnya lebih banyak dijumpai di Provinsi NTT, NTB, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara.

“Relatif lebih tinggi karena lingkungan ekologis dan sumber daya alam termasuk berat, proporsi keluarga miskin juga cukup banyak,” tuturnya.

Perbaikan gizi bisa dengan melakukan perubahan perilaku, yakni tidak membiarkan anak terus mengonsumsi makanan olahan, fast food, dan mi instan. Semua makanan tersebut cenderung tinggi lemak, tetapi miskin vitamin dan mineral.

“Kalau dibiarkan terus, anak tidak akan berkembang tingginya, hanya berat badan, sehingga cenderung pendek gemuk,” kata DR. Minarto

Karena itu, ia menyarankan orangtua mulai membudayakan hidup sehat dan konsumsi makanan bergizi seimbang. “Cukup tiga porsi sehari dengan memperbanyak asupan vitamin dan mineral agar anak tumbuh dengan baik,” ujarnya.

 

Sumber: sehatnews.com